Senin, 20 Januari 2014













KH. ABDUL GANI BIN NASRI BIN ABI HASAN & HJ. SITI ROHANI BINTI GUSTI SULAIMAN
PEMBINA MAJELIS TA'LIM DALAILUL KHAIRAT SAMARINDA


Rabu, 15 Januari 2014







 Al-Habib Ali Alhabsyi adalah putera dari Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya. Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.

Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil 'Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.

Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.

Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya'. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Di antara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut ialah Al-'Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, dan juga Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-'Attos serta yang lain daripada ulama-ulama pada saat itu.

Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, dibawah didikan ulama-ulama besar disana, diantaranya Mafti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi, Sayid Bakri Sa'ta, As-Syeikh Muhammad Said Babsail, As-Syeikh Umar Hamdan dan lain-lain.

Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau RAsullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.

Sekembalinya di tanah air, mulailah beliau menjalankan dakwahnya, mengajak umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam yang suci dengan dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya SAW.

Selain di pengajian tetap di majlis ta'lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Alhabsyi juga berdakwah ke Singapura dan Malaysia.

Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilAllah, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadhu'nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliaupulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.

Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca sholawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya SAW.

Beliau berpulang ke rahmatulloh pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi.
Radhiyallohu anhu wa ardhah...















Muhammad Nafis al-Banjari

 
  
 Dalam deretan ulama Banjar, nama Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Dialah pengarang “Durr Al-Nafis”, kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan. Apa yang yang harus dilakukan kaum muslimin agar memperoleh kemajuan dalam hidup? Mengapa Belanda melarang kitabnya beredar di Indonesia?

Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun 1148 H./1735 M.,di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.

Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.

Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.

Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.

Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.

Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.

Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.

Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.

Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.

Islamisasi di Kalimantan

Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Daya Spiritual dan Kewajiban Syari’at

Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/1928) dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.

Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.

Kitab itu membicarakan sufisme dan tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.

Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.

Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan Muhammad Nafis al-Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.

Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa
















 

Habib Salim bin Jindan (Manakib)

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan Habib -- belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”







Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.

Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.

Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.

Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.

Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.

Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.

Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.

Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.

Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.

Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.

Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.

Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”

Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.

Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.

Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.

Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.

Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……

Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”

Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…
Terjemah Do'a Dalailul Khairat 













DO’A SELESAI MEMBACA DALAILUL KHAIRAT
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
 Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
اللَّهُمَّ اشْرَحْ بِالصَّلَوةِ عَلَيْهِ صُدُوْرَنَا _
Ya Allah, lapangkanlah dg berkah bacaan shalawat atas Nabi SAW akan dada kami.
وَيَسِّرْ بِهَا أُمُوْرَنَا _
Dan mudahkanlah dengan berkahnya [bacaan shol...awat] akan segala urusan kami.
وَفَرِّجْ بِهَا هُمُوْمَنَا _
Dan hilangkanlah dg berkahnya [bacaan sholawat] akan segala kesusahan kami.
وَاكْشِفْ بِهَا غُمُوْمَنَا _
Dan bukakanlah dga berkahnya [bacaan sholawat] akan segala keprihatinan kami.
وَاغْفِرْ بِهَا ذُنُوْبَنَا _
Dan ampunilah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan segala dosa kami.
وَاقْضِ بِهَا دُيُوْنَنَا _
Dan bayarkanlah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan segala hutang kami.
وَأَصْلِحْ بِهَا أَحْـوَالَـنَا _
Dan baguskanlah dg berkahnya [bacaan sholawat] akan segala tingkah laku kami.
وَبَلِّغْ بِهَا آمَالَنَا _
Sampaikanlah dg berkahnya [bacaan sholawat] akan segala apa yang menjadi keinginan kami.
وَتَقَبَّلْ بِهَا تَوْبَتَنَا _
Dan terimalah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan taubat kami.
وَاغْسِلْ بِهَا حَوْبَتَنَا _
Dan sucikanlah (basuhlah) dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan segala perbuatan dosa kami.
وَانْصُرْ بِهَا حُجَّتَنَا _
Dan menangkanlah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan hujjah kami.
وَطَهِّرْ بِهَا أَلْسِنَتَنَا _
Dan sucikanlah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan segala ucapan kami.
وَآنِسْ بِهَا وَحْشَتَنَا _
Dan tundukkanlah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan keliaran nafsu kami.
وَارْحَمْ بِهَا غُرْبَتَنَا _
Dan kasihanilah dengan berkahnya [bacaan sholawat] akan pengembaraan kami.
وَاجْعَلْهَا نُوْرًا بَيْنَ أَيْدِيْنَا وَمِنْ خَلْفِنَا _
Dan jadikanlah akan keberkahan sholawat itu sebagai Nur dihadapan kami, dan di belakang kami.
وَعَنْ أَيْمَانِنَا وَعَنْ شَمَآئِلِنَا _
Dan dari kanan kami, kiri kami.
وَمِنْ فَوْقِنَا وَمِنْ تَحْتِنَا _
Dan dari atas kami dan bawah kami.
وَفِى حَيَاتِنَا وَمَوْتِنَا _
Dan dalam hidup kami dan mati kami.
وَفِى قُبُوْرِنَا وَحَشْرِنَا وَنَشْرِنَا _
Dan dalam kubur kami dan di padang Mahsyar kami, kehidupan sesudah mati kami.
وَظِلاًّ فِى الْقِيَامَةِ عَلَى رُؤُوْسِنَا _
Dan sebagai naungan pada hari kiamat di atas kepala kami.
وَثَقِّلْ بِهَا مَوَازِيْنَا حَسَنَاتِنَا _
Dan beratkanlah dengan keberkahan sholawat itu akan timbangan kami yaitu timbangan kebajikan.
وَأَدِمْ بَرَكَاتِهَا عَلَيْنَا حَتَّى نَلْقَى نَبِيَّنَا سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ آمِنُوْنَ مُطْمَئِنُّوْنَ فَرِحُوْنَ مُسْتَبْشِرُوْنَ _
Dan kekalkanlah barokah shalawat atas itu diri kami sehingga kami bertemu Nabi kami dan Baginda kami yaitu Muhammad SAW. Kami selamat dan tenang, gembira yang digembirakan.
وَلَاتُفَرِّقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ حَتَّى تُدْخِلَنَا مَدْخَلَهُ وَتُؤْوِيَنَا إِلَى جِوَارِهِ الْكَرِيْمِ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا _
Janganlah kami dipisahkan antara beliau, sehingga Engkau masukkan tempat masuk beliau. Tempatkanlah kami jadi tetangga beliau yang mulia beserta orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, dari para Nabi, siddiqin, syuhada dan shalihin. Demikianlah sebaik-baik teman.
اللَّهُمَّ إِنَّا آمَنَّا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَرَهُ فَمَتِّعْنَا اللَّهُمَّ فِى الدَّارَيْنِ بِرُؤْيَتِهِ _
Ya Allah, sesungguhnya kami beriman dengan beliau SAW meskipun kami belum pernah melihat beliau, maka gembirakanlah kami Ya Allah di dua negeri (dunia dan akherat) dengan melihat beliau.
وَثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى مَحَبَّتِهِ _
Dan tetapkanlah hati kami di atas mencintai beliau.
وَاسْتَعْمِلْنَا عَلَى سُنَّتِهِ _
Dan tolonglah kami mengerjakan sunnah-sunnahnya.
وَتَوَفَّنَا عَلَى مِلَّتِهِ _
Dan matikanlah kami di atas agamanya.
وَاحْشُرْنَا فِى زُمْرَتِهِ النَّاجِيَةِ وَحِزْبِهِ الْمُفْلِحِيْنَ _
Dan kumpulkanlah kami dalam golongan yang selamat. Dan tentaranya yang bahagia.
وَانْفَعْنَا بِمَا انْطَوَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبَنَا مِنْ مَحَبَّتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ لَاجَدَّ وَلَا مَالَ وَلَابَنِيْنَ _
Berilah manfaat kepada kami dalam hati kami mencintai beliau saw. Mudah-mudahan Rahmat, Salam Allah tetap terlimpah atas beliau SAW pada hari tiada nasib baik, harta benda dan anak.
وَأَوْرِدْنَا حَوْضَهُ الْأَصْفَى وَاسْقِنَا بِكَأْسِهِ الْأَوْفَى _
Sampaikanlah kami pada telaga beliau yang bersih. Minumilah kami dengan gelas beliau yang dijanjikan.
وَيَسِّرْ عَلَيْنَا زِيَارَةَ حَرَمِكَ وَحَرَمِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُمِيْتَنَا_
Mudahkanlah kami berziarah ke Tanah Haram Engkau dan Tanah Haram beliau sebelum Engkau wafatkan kami.
وَأَدِمْ عَلَيْنَا الْإِقَامَةَ بِحَرَمِكَ وَحَرَمِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْ نُتَوَفَّى _
Kekalkanlah kami mendirikan kewajiban di Tanah Haram Engkau dan Tanah Haram Nabi Engkau sampai kami diwafatkan.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَشْفِعُ بِهِ إِلَيْكَ _
Ya Allah, sesungguhnya kami mohon syafa’at melalui Perantaraan Nabi kepada Engkau.
إِذْ هُوَ أَوْجَهُ الشُّفَعَآءِ إِلَيْكَ _
Sebab beliaulah sebaik-baik orang yang memberi syafa’at kepada Engkau
وَنُقْسِمُ بِهِ عَلَيْكَ _
dan diberi bagian atas Engkau.
إِذْ هُوَ أَعْظَمُ مَنْ أُقْسِمُ بِحَقِّهِ عَلَيْكَ _
Karena beliau adalah seagung-agung orang yang diberi bagian dengan haknya atas Engkau.
وَنَتَوَسَّلُ بِهِ إِلَيْكَ _ إِذْ هُوَ أَقْرَبُ الْوَسَآئِلِ إِلَيْكَ _
Dan kami bertawassul dengannya kepada Engkau, sebab beliaulah sedekat-dekat Perantara kepada Engkau.
نَشْكُوْ إِلَيْكَ يَارَبِّ قَسْوَةَ قُلُوْبِنَا _
Kami mengadukan kepada Engkau Ya Tuhan akan kerasnya hati kami,
وَكَثْرَةَ ذُنُوْبِنَا _
Dan banyaknya dosa kami,
وَطُوْلَ آمَالِنَا _
Dan panjangnya angan-angan kami,
وَفَسَادَ أَعْمَالِنَا _
Dan rusaknya amal kami,
وَتَكَاسُلَنَا عَنِ الطَّاعَاتِ _
Dan kemalasan kami dari mentaati Engkau,
وَهُجُوْمَنَا عَلَى الْمُخَالَفَاتِ _
dan melanggarnya kami atas sumpah-sumpah.
فَنِعْمَ الْمُشْتَكَى إِلَيْهِ أَنْتَ _
Maka sebaik-baik pengaduan adalah Engkau.
بِكَ نَسْتَنْصِرُ عَلَى أَعْدَآئِنَا وَأَنْفُسِنَا فَانْصُرْنَا _
dengan Engkau kami mohon kemenangan atas musuh-musuh kami dan nafsu-nafsu kami, maka berilah kami kemenangan.
وَعَلَى فَضْلِكَ نَتَوَكَّلُ فِى صَلاَحِنَا فَلَا تَكِلْنَا إِلَى غَيْرِكَ يَارَبَّنَا_
Dan atas anugerah Engkau kami bertawakal, dalam kebaikan kami, maka janganlah Engkau menyerahkan kami kepada selain Engkau wahai Tuhan kami.
وَإِلَى جَنَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَنْتَسِبُ فَلاَ تُبَعِّدْنَا_
[Tuhan kami] dan pada pihak Rasulullah SAW kami jadi satu ketururan/keluarga, maka dari itu janganlah Engkau jauhkan kami.
وَبِبَابِكَ نَقِفُ فَلَا تَطْرُدْنَا _
[Ya Tuhan kami], dengan pintu-pintu Engkau kami berdiri maka janganlah Engkau mengusir kami.
وَإِيَّاكَ نَسْأَلُ فَلَا تُخَيِّبْنَا _
[Tuhan kami], hanya kepada Engkau kami memohon, maka janganlah sia-siakan kami,
اللَّهُمَّ ارْحَمْ تَضَرُّعَنَا _
Ya Allah, kasihanilah kerendahan kami.
وَآمِنْ خَوْفَنَا _
Dan selamatkanlah takut kami,
وَتَقَبَّلْ أَعْمَالَنَا _
Dan terimalah amal-amal kami,
وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا _
Dan perbaguskanlah polah tingkah kami,
وَاجْعَلْ بِطَاعَتِكَ اشْتِغَالَنَا _
Dan jadikanlah dengan ketaatan kepada Engkau sebagai kesibukkan kami,
وَإِلَى الْخَيْرِ مَآلَنَا _
Dan kepada kebajikan menjadi angan-angan kami,
وَحَقِّقْ بِالزِّيَادَةِ آمَالَنَا _
Dan nyatakanlah dengan tambahan segala angan-angan kami,
وَاخْتِمْ بِالسَّعَادَةِ آجَالَنَا _
Dan tutuplah dengan kebahagiaan ajal kami.
هَذَا ذُلُّنَا ظَاهِرٌ بَيْنَ يَدَيْكَ _
Inilah kehinaan kami yang nampak dihadapan Engkau
وَحَالُنَا لَا يَخْفَى عَلَيْكَ _
dan tingkah kami yang tak ada kesamaran atas Engkau.
أَمَرْتَنَا فَتَرَكنا _
Engkau telah memerintahkan kami, lalu kami meninggalkannya.
وَنَهَيْتَنَا فَرَكِبْنَا _
Engkau melarangnya maka kami melanggarnya.
وَلَا يَسَعُنَا إِلَّا عَفْوُكَ _
Dan tiada yang melapangkan kami kecuali ampunan Engkau
فَاعْفُ عَنَّا يَاخَيْرَ مَأْمُوْلٍ _
maka ampunilah kami wahai sebaik-baik Dzat yang diangan-angan
وَأَكْرَمَ مَسْؤُوْلٍ _
dan semulia-mulia Dzat yang dimintai.
إِنَّكَ عَفُوٌّ غَفُوْرٌ _
Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Pengampun,
رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ _
Maha Penyantun dan Maha Pengasih.
يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ _
Wahai Dzat yang Pengasih diantara orang-orang yang kasih.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا _ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ _
Mudah-mudahan Rahmat dan Salam Allah tetap atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian Alam.


 

Senin, 13 Januari 2014





Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan pentung bagi kaum Ahlussunnah Waljamaah.
Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan.
Di masa kecil beliau mengaji kepada Syekh Thaha bin Abdullah Bahmid. Setelah itu, beliau belajar fiqih, tafsir dan sastra di Madrasah An-Nahdlatul Ilmiyah. Di perguruan ini pula beliau menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qiraah sab'ah ( tujuh jenis bacaan ) Al-Qur'an dari Syekh Hasan bin Abdullah Baraja, beliau juga membaca beberapa kitab langsung di bawah supervisi ayahandanya.
Tapi beliau juga berguru kepada sejumlah ulama besar lainnya, Antara lain :
• Habib Umar bin Hamid Assegaf
• Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi
• Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
• Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
• Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus
• Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura. Dua ulama Singapura yang menyambutnya kala itu ialah Habib Muhammad bin Salim Al-Aththas dan Habib Ali Ridha Assegaf. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.
Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di Jeddah pada 1411 H / 1990 M, " Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt." Ujarnya.
Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.
Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. " Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan." Katanya.
Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.





 Habib Ahmad bin Muhammad al muhdhar 

 

  
Ulama Bondowoso kelahiran Hadro maut merupakan sosok ulama karismatik yang menjadi panutan masyarakat serta rujukan ilmu dari para ulama. Putra dari seorang ulama besar lahir di desa Quwairoh Hadro maut sekitar tahun 1280 H atau 1859 M. Ayah beliau bernama Habib Ahmad bin Muhammad al muhdhar seorang ulama besar di hadro maut. sejak kecil habib Muhammad bin Ahmad Al muhdhor menuntut ilmu dari ayahnya, kecerdasan dan penguasaan materi yang di berikan Ayahnya membuat Ayahnya merasa bangga terhadap putranya. Menginjak Remaja Habib Muhammad Muhdhor belajar kepada seorang Ulama dan Waliyulloh bernama Habib Ahmad bin Hasan Al athos. Gurunya walaupun buta namun mampu melihat dengan pandangan Batiniyyah yang telah dikaruniakan Alloh SWt.

Sewaktu Gurunya Habib Ahmad bin Hasan Al athos pergi ke suatu daerah untuk berdakwah , beliau mengajak Muridnya Habib Muhammad Al muhdhor untuk menemaninya. Mereka menunggang kuda bersebelahan, dalam perjalanan Habib Muhammad minta izin gurunya untuk membacakan Kitab Al Muhadzdzab karya Imam Abu Ishak. Dan sepanjang Perjalanan Habib Muhammad Al Muhdhor membaca Kitab Muhadzdzab sedangkan gurunya menyimak bacaan Muridnya sampai khatam. Selesai menghatamkan Kitab Muhadzadzab gurunyapun mendo’akan habib Muhammad al muhdhor .

Tahun 1886 M Habib Ahmad Al muhdhor ayah Habib Muhmmad al muhdhor meninggal dunia , Orang yang selama ini menjadi sugesti dan tempat mengadu telah dipanggil Alloh SWt. Setelah itu pula habib Muhammad al muhdhor mulai melakukan ritual Dakwahnya ke berbagai daerah. Gaya bahasa dan tutur kata yang lembut mampu meluluhkan hati setiap orang. Setiap kali daerah yang dikunjungi nya selalu ramai orang berbondong -bondong mengelilinginya untuk belajar kepadanya.
Setelah sekian lama melakukan ritual dakwahnya kebebagai daerah hingga akhirnya Beliau menetap di Bondowoso Jawa timur. Keharuman namanya serta kedalaman ilmu yang dimiliki mampu membuat simpatik masyarakat serta para ulama dari berbagai daerah Ditanah air. Salah seorang ulama Surabaya Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi sangat mengagumi habib Muhammad Al Muhdor hingga Menikahkan dengan salah seorang putrinya. Mertua dan Menantu yang memang seorang ulama bahu membahu untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada masyarakat, pendirian Madrasah Al Khaeiriyyah Surabaya dan darul Aitam Jakarta adalah juga merupakan usaha dari Habib Muhammad Muhdhor untuk mengajak para Donatur menyisihkan hartanya membangun tempat tersebut.

Majlisnya tak pernah sepi dari para Muhiibin yang menghadirinya , kepedulian Habib Muhammad al muhdhor terhadap ilmu sangat besar maka tak heran bila beliau mendapat tempat tersendiri di hati para ulama . tak jarang beliau menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab -kitab dan mengajarkannya kepada umat. Perhatian beliau terhadap umatpun sangat besar, tak segan segan Habib Muhammad membantu kesulitan umat baik berupa materi mapun imateril. Begitupun terhadap tamu yang berkunjung ke rumahnya, beliau akan sambut tamu tersebut di depan pintu dengan senyumnya yang bersahaja, maka tak jarang para tamu yang berkunjung kerumahnya untuk datang kembali karena keramah tamahan yang dimilki Habib Muhammad Al muhdhor.


Tanggal 4 may 1926 Habib Muhammad al muhdhor Wafat setelah beberapa hari di rawat di Rumah sakit di surabaya, beliau meninggalkan 5 orang putra dan 3 anak perempuan. Masyarakat dan para ulama baik dari Ahli bait maupun ahwal merasa sangat kehilangan sosok ulama yang sangat perduli dengan umat. Beliau dimaqomkan disamping maqom mertuanya Habib muhammad al habsy





Sayid Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad, seorang penulis yang hebat dan sejarawan yang suka meneliti. Ia pernah menjabat sebagai mufti Johor

Jika berbicara tentang suatu persoalan, beliau memaparkan segala seginya dan menguatkannya dengan dalil-dalil aqli dan naqli. Beliau seorang yang memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap Islam dan menjadi pembelanya. Di samping itu, beliau juga pembela keluarga Rasulullah SAW. aktif berhubungan dengan para ahli ilmu di berbagai tempat di seluruh dunia Islam, dan selalu menghindari pertentangan-pertentangan mazhab.

Nama lengkapnya ialah Habib Alwi bin Thahir al-Haddad bin Abdullah bin Thaha Abdullah bin Umar bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar Abu Thahir al-Alawi asy-Syarif al-Huseini. Sampai nasabnya kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kawin dengan Sayidatina Fatimah binti Nabi Muhammad SAW. Habib Alwi bin Thahir al-Haddad lahir di Bandar Qaidun, Hadhramaut, Yaman pada 14 Syawal 1301 H/ 7 Agustus 1884 M.
Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad sedari kecil telah bercita-cita menjadi ulama. Ini didukung oleh kecerdasan dan keteguhannya dalam menuntut ilmu, dan selalu menyertai ulama-ulama besar sehingga dapat mencapai puncak keilmuannya dan menghimpunkan berbagai ilmu naqli dan aqli yang membuatnya melebihi rekan-rekan seangkatannya. Bahkan, Sayid Alwi mampu melakukan istinbat dan ijtihad yang cermat dan tidak dapat dicapai oleh sebagian orang.

Guru-gurunya di Hadhramaut ialah Habib Ahmad bin al-Hasan al-Attas al-Alawi, Habib Thahir bin Umar al-Haddad, dan Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad. Banyak bidang ilmu tradisi yang beliau peroleh daripada keluarganya sendiri yang berketurunan Nabi Muhammad SAW.
Sayid Alwi sangat menggemari pelajaran Hadits. Berkali-kali Sayid Alwi al-Haddad menamatkan kitab As-Sittah, Riyadh ash-Shalihin, Bulugh al-Maram, Jami’ ash-Shaghir. Untuk memperdalam ilmu hadits Sayid Alwi al-Haddad mempelajari kitab-kitab mengenai sanad hadits seperti ad-Dhawabidh al-Jaliyah fi al-Asanid al-‘Aliyah karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Syamsuddin Abdullah bin Fathi al-Farghali al-Hamisyi. Demikian juga kitab ats-tsabat yang berjudul as-Samth al-Majid karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Shafiyuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasyasy al-Madani. Sayid Alwi al-Haddad telah berhasil memperoleh ilmu dan ijazah daripada para gurunya serta dengan sanad-sanad yang bersambung sampai Rasulullah SAW.
Selain guru tersebut, Sayid Alwi al-Haddad juga memperoleh ilmu daripada ayah saudaranya Imam Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, juga dengan Habib Thahir bin Abi Bakri al-Haddad. Guru-guru beliau yang lain adalah al-Mu’ammar Sirajuddin Umar bin Utsman bin Muhammad Ba Utsman al-Amudi ash-Shiddiqi al-Bakari. Sayid Alwi al-Haddad juga sempat mendengar riwayat hadits dari Sayid ‘Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal yang wafat tahun 1250 H/1834 M.
Diriwayatkan bahawa Sayid Alwi al-Haddad ialah seorang yang sangat cergas. Sedikit saja belajar namun penguasaan akan ilmu pengetahuannya langsung meningkat. Pada umur 12 tahun, Sayid Alwi al-Haddad menghatamkan Ihya ‘Ulumidin karya Imam al-Ghazali. Dalam usia 17 tahun ia telah mengajar dan mengajar kitab yang besar-besar dan ilmu yang berat-berat seperti ilmu tafsir, hadits, fiqh, usul fiqh, tarikh, falak, nahwu, shorof, balaghah, filsafat dan tasawuf.

Beliau juga memiliki karangan-karangan yang banyak dan kajian-kajian di berbagai surat kabar dalam bermacam-macam persoalan kemasyarakatan, politik, aqidah, sejarah dan fatwa yang mencapai 13000 masalah.

Sebagai ulama dan mufti, ia kerap diminta untuk berpidato dan memberikan ceramah pada pertemuan-pertemuan umum. Ceramah yang disampaikannya di depan Jong Islamieten Bond (Perkumpulan Pemuda Muslimin) telah diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Arab. Pemimpin Sarekat Islam yang terkenal, Haji Oemar Said Cokroaminoto sering berhubungan dengannya. Ketika dia sedang mengarang buku tentang sejarah Nabi dalam bahasa Indonesia, dia menunjukkan kepada Sayid Alwi yang kemudian memeriksanya dan memberikan kata pengantar untuk buku itu. Pertama kali buku itu dapat diterbitkan atas biaya seorang dermawan dan kemudian buku itu dapat diterbitkan untuk yang kedua kalinya.

Sayid Alwi memiliki karangan-karangan yang banyak yang akan kami sebutkan berikut ini agar dapat diketahui betapa luas pengetahuannya. Beberapa diantara karangannya adalah: Al-Qaul al-Fashl fi Maa li Bani Hashim wa Quraisy wal-Arab Min al-Fadhl (dua jilid), Kumpulan Fatwa (berisi sekitar 12000 fatwa), masalah Durus as-Sirah an-Nabawiyah dalam dua jilid kecil, Kitab tentang hukum-hukum nikah dan qadha dalam bahasa Melayu (diterbitkan dalam dua jilid), Mukhtashar Aqd al-Aali karangan Sayid Idrus bin Umar al-Habsyi, I’anah an-Nahidh fi Ilm al-Faraidh, Majmuah min Ulum al-Falak (jilid besar), Ath-Thabaqat al-Alawiyyah dan lain-lain.

Sayid Alwi al-Haddad mengembara ke pelbagai negara untuk berdakwah dan mengajar, di antaranya Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Di Jakarta, Sayid Alwi al-Haddad pernah mengajar di Madrasah Jam’iyah al-Khair yang didirikan oleh keturunan Sayid di Indonesia. Madrasah Jam’iyah al-Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem pendidikan moden yang pertama di Indonesia, Sayid Alwi al-Haddad pula termasuk salah seorang guru yang pertama sekolah. Jabatan pertama Sayid Alwi adalah Wakil Mudir sekolah. Sementara itu, Mudirnya ialah Sayid Umar bin Saqaf as-Saqaf.
Para guru didatangkan dari pelbagai negara. Antara mereka ialah Ustadz Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam’iyah al-Khair tahun 1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al-Maghribi yang berasal dari Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah.
Sayid Alwi bin Thahir termasuk salah seorang pendiri ar-Rabithah al-Alawiyyah di Indonesia. Selain mengajar di Jakarta beliau juga pernah mengajar di Bogor dan tempat-tempat lain di Jawa. Beberapa muridnya dikenal menjadi ulama besar yang pernah menjadi murid Sayid Alwi al-Haddad, diantaranya: Habib Alwi bin Syeikh Bilfaqih al-Alawi, Habib Alwi bin Abbas al-Maliki, Habib Salim Aali Jindan, Habib Abu Bakar al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, Habib Husein bin Abdullah bin Husein al-Attas, Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath al-Makki, KH Abdullah bin Nuh dan lain-lain.
Belakangan Kesultanan Johor di Malaysia memilihnya untuk menjabat sebagai mufti di sana. Beliau menjabat sebagai mufti Kerajaan Johor dari tahun 1934 hingga tahun 1961. Sayid Alwi menjadi mufti Johor menggantikan Allahyarham Dato’ Sayid Abdul Qader bin Mohsen Al-Attas. Beliau wafat pada 14 November 1962 (1382 H) dan dikebumikan di Tanah Perkuburan Mahmoodiah Johor Bahru. Beliau mempunyai keturunan yang kemudian pindah ke Jazirah Arab bagian selatan, di antaranya adalah putranya Sayid Thahir dan Sayid Hamid.



Syekh Abdurrahman Siddiq Albanjary Mufti Indragiri. Beliau lahir di Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M/1284 H. Nama lengkapnya Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif bin Jamaludin Albanjary. Kata "Siddiq" dibelakang nama beliau adalah gelar yang diberikan guru beliau, Syekh Bhakti satha AlMakki karena tatkala Syekh Abdurrahman mengeluarkan fatwa hukum, fatwa nya selalu tepat dan benar. Dilihat dari silsilah keturunan ayahnya, Muhammad Afif, beliau masih keluarga Sultan Banjar, Sedangkan Ibunya Siti Shapura merupakan keturunan dari seorang ulama besar asal Banjar Syekh Muhammad Arsyad Albanjary. Namun jika ditelaah lebih jauh maka akan dapat diketahui bahwasanya baek dari silsilah ibu maupun ayah, Syekh Abdurrahman Siddiq merupakan keturunan langsung dari Syekh Muhammad Arsyad dari perkawinanya dengan Putri Bajut. Ibu beliau Siti Shapura wafat tatkala ia masih kecil, dan selanjutnya Abdurrahman kecil di asuh oleh makciknya (saudara ibunya) Siti Saidah. Sedangkan ayahnya, Muhammad Afif, tidak lama setelah kematian Siti Shapura beliau kemudian merantau ke Pulau Bangka di Sumatra. Dari Siti Saidah lah Abdurrahman kecil banyak belajar ilmu agama, karena Siti Saidah juga merupakan wanita yang dihormati dikampungnya karena ilmu agamanya. Pada umur delapan tahun Syekh Abdurrahman Siddiq telah khatam Al-qur'an dan pada usia belasan tahun telah sangat banyak kitab-kitab agama dalam berbagai bidang yang telah dipelajari oleh Syekh Abdurrahman Siddiq baek dari Siti Saidah maupun dari para ulama laen yang berada di tanah Banjar. Disamping mempelajari agama, beliau juga belajar bertukang emas dengan pamanya, Muhammad Arsyad. Kepandaian Syekh Abdurrahman Siddiq bertukang emas sangat terkenal bahkan melibihi pamanya yang juga sangat dikenal di Banjar ketika itu. Dari Kepandaiannya bertukang emas inilah akhirnya pada tahun 1310 H, syekh Abdurrahman Siddiq kemudian melaksanakan Niatnya untuk mendalami agama di Mekah. Selama berguru lebih kurang lima tahun Di Mekah, kemudian beliau muqim di Madinah dua tahun. Namun setelah itu beliau kembali ke Mekah dan dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram. Adapun kawan-kawan beliau yang sama belajar di Mekah pada waktu itu, diantaranya ialah Syekh Mukhtar Bogor, Syekh Nawawi AlBanteni, Syekh Utsman Mufti Betawi, Syekh Hasyim 'Asy'ari Jombang,dan lain-lain. Setelah sekian lama di Mekah, oleh gurunya karena Syekh Abdurrahman Siddiq telah dianggap mempuni dan lebih dibutuhkan oleh masyarakat jawi,akhirnya beliau kembali ke Indonesia. Setelah kepulanganya itu, beliau sempat ke Betawi dan ditawarkan menjadi Mufti di sana,namun beliau menolak, begitu juga halnya tatkala beliau ke Singapura, lagi-lagi beliau menolak. Namun pada akhirnya beliau memilih untuk muqim di Indragiri setelah diminta oleh masyarakat Indragiri, dan akhirnya oleh Sultan Mahud Indragiri, beliau diangkat menjadi Mufti kerajaan. Sebelum muqim di Indragiri, Syekh Abdurrahman Siddiq juga mengajar di Pulau Bangka, tempat ayahnya tinggal dan Kampung Halamannya Kalimantan selama beberapa tahun. Sebagai ulama besar yang kharismatik, beliau berperan besar dalam kehidupan agama maupun sosial masyarakat Indragiri. Beliau lah orang pertama yang mendirikan pesantren atau madrasah di Indragiri yang berpusat di kampung Hidayat Sapat tempat muqim beliau. Beliau lah juga orang pertama yang membuka lahan perkebunan kelapa rakyat di Indragiri, disamping itu tentu saja beliau adalah pemimpin (mufti) kesutanan Indragiri dalam urusan agama. Sebagai tokoh Islam, beliau juga mengarang beberapa kitab dalam berbagai bidangny, seperti Tashawuf, Tauhid, Fiqh, Sastra, Sejarah dan lainnya. Diantara kitab hasil karya Syekh Abdurrahman Siddiq Albanjary yang diketahui ialah seperti,, Risalah Amal Ma'rifat (1329 M), Risalah fi Aqaidil Iman (1335 H), Asraris sholah min 'iddatul qutubul muktabarat (1931 M)